aa gym dan keluarga |
Miris, sungguh miris hati ini. Aku berusaha
menyambung kembali tali silahturahim yang lama tidak terajut. Aku punya saudara
yang tinggal jauh dari rumah aku, ia tinggal di pulau Sumatera. Terakhir aku
dengar kalau keponakan aku yang berumur 18 bulan sakit sampai kondisinya koma
beberapa hari.
Dan kini yang aku dengar berita yang jauh lebih
mengejutkan dari sebelumnya, keponakan aku sekarang dititipkan di rumah
neneknya, yang jarak rumah nenek dengan orang tuanya kira-kira 25 jam
perjalanan jika ditempuh dengan mobil. Tidak hanya berhenti disini, sang ayah
hanya menengoknya sebulan sekali, sedangkan sang bunda hanya dua bulan sekali.
MasyaAllah, dari satu kisah ini saja aku sudah banyak
mengelus dada. Bagaimana mungkin seorang bunda bisa rela meninggalkan anaknya
yang masih menjadi kewajibannya untuk mengasuh dan memberi ASI. Dan sekarang
banyak sekali bunda-bunda muda yang dengan sadar tega meninggalkan anak-anaknya
demi kepentingan duniawi. apakah mereka tidak memahami bahwa mereka telah
melalaikan kewajibannya sebagai bunda, ataukah mereka memahami tapi tidak punya
pilihan lain. Ataukah mereka memahami tapi tidak menjadikan itu sebagai sesuatu
yang penting. Ada sebagian mereka yang beranggapan bahwa semua ini mereka
lakukan demi masa depan anak-anaknya. Padahal Secara tidak sadar mereka telah
menggadaikan masa depan putra-putrinya.
Dalam Islam keluarga merupakan tumpuan yang utama dan
pertama dalam mempersiapkan generasi penerus peradaban. Dan bunda adalah
pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Lantas bagaimana jadinya jika
pendidik anak yang pertama dan utama ini tidak lagi mendampingi anak-anaknya?
Bagaimana ketahanan keluarga mereka bisa terjaga?
Menurut Dian Kusumawardani dalam majalah ummi. Setiap
individu yang berkeluarga pasti mendambakan keluarga yang sakinah. Keluarga
sakinah adalah keluarga yang mampu memberikan ketenangan, ketentraman dan
kesejukan yang dilandasi oleh iman dan taqwa, serta dapat menjalankan syariat
Islam dengan sebaik-baiknya.
Tidak ada masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik.
Keluarga sebagai bagian dari masyarakat pun tidak luput dari konflik. Bentuk
konflik yang terjadi dalam keluarga misalnya konflik antara suami dan istri
serta konflik antara orangtua dan anak. Keluarga yang mampu menghadapi konflik
akan menjadi keluarga yang tangguh
Setiap keluarga muslim berkewajiban memperkuat
ketahanan keluarganya masing-masing. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang
beriman ! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras,
yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan“ (at-Tahrim : 6). Ketahanan
keluarga adalah konsep dalam menjaga kehidupan rumah tangga islami dari
nilai-nilai liberalisasi dan sekuler yang dapat mengancam eksistensi keluarga
tersebut dalam mengamalkan nilai-nilai yang islami.
Era globalisasi yang terjadi saat ini banyak yang
mempengaruhi ketahanan keluarga muslim. Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi lemahnya ketahanan keluarga muslim. Pertama, lemahnya komitmen
terhadap nilai-nilai keislaman. Nilai-nilai keislaman adalah pondasi dalam
membangun ketahanan keluarga. Rendahnya pengetahuan akan nilai-nilai yang
islami membuat komitmen terhadap nilai keislaman menjadi rendah. Akibatkan
ketahanan keluarga akan mudah rapuh.
Kedua, sikap hidup yang matrealistis. Kehidupan yang
lebih mementingkan materi membuat orangtua hanya berpikir untuk mencari uang
yang banyak. Anak hanya dicukupi secara materi namun mengabaikan aspek kasih akung
dan perhatian. Akibatnya anak banyak mencari perhatian di luar rumah, sehingga
cenderung melakukan perilaku menyimpang.
Ketiga, berkembangnya nilai-nilai jahilliyah yang
dapat dengan mudah diakses melalui kemajuan teknologi yang terjadi saat ini.
Nilai tersebut akan mudah diserap jika pondasi nilai-nilai keislaman keluarga
rendah. Keempat, minimnya komunikasi antar anggota keluarga. Tuntutan ekonomi
terkadang membuat kedua orangtua harus bekerja. Kesbundakan dalam bekerja
seringkali membuat komunikasi antar anggota keluarga terhambat.
Komunikasi yang terjadi lebih banyak yang bersifat
sekunder, yaitu menggunakan alat-alat komunikasi seperti smart phone. Padahal
komunikasi primer antar anggota keluarga akan lebih meningkatkan keharmonisan
keluarga. Kelima , Lemahnya tarbiyah ’ailiyah (pembinaan keluarga). Tanpa
adanya pembinaan keluarga maka ketahanan keluarga adalah hal yang mustahil
untuk dicapai. Ketahanan keluarga dapat dicapai bila mampu memenuhi lima aspek,
sebagai berikut:
1. Kemandirian Nilai
Langkah pertama yang harus dipenuhi untuk mencapai
ketahanan keluarga muslim. Kemandirian nilai,khususnya nilai-nilai islami mampu
membentengi anggota keluarga dari perilaku hedonis dan liberalis. Orangtua
menjalankan fungsi sosialisasinya berdasarkan nilai-nilai islam. Bila anak
sudah memiliki pondasi nilai-nilai islam yang kuat, maka ia tidak akan mudah
terpengaruh nilai-nilai negatif yang datang akibat globalisasi.
2. Kemandirian Ekonomi
Sandang, pangan, dan papan adalah hal mendasar yang
harus dipenuhi dalam keluarga. Dalam islam seorang ayah berkewajiban untuk
mencari nafkah yang halal bagi keluarganya, sebab nafkah yang haram bisa
memberikan dampak yang negatif bagi anak. Orang tua harus benar-benar menjamin
bahwa makanan yang dia berikan kepada anaknya 100 % halal. Sedikit saja
tercampur dengan yang haram maka anak akan merasakan akibat buruknya. Darahnya
terkontaminasi haram, dagingnya tersusun dari zat haram maka hatinya akan
tertutup dari rahmat Allah. Doanya tidak akan didengar oleh Allah swt.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda;
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha
Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan
kaum mukminin dengan perintah yang juga Dia tujukan kepada para rasul, “Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” dan Dia juga
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” Kemudian beliau menyebutkan seseorang
yang letih dalam perjalanannya, rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir,
seraya dia menengadahkan kedua tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku,
wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram,
dan dia diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan
dikabulkan.” (HR. Muslim)
3. Kesalehan Sosial
Kesalehan Sosial menunjuk pada perilaku orang-orang
yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap
santun pada orang lain, suka menolong, sangat perhatian terhadap
masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama, mampu berpikir
berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa
yang dirasakan orang lain, dan seterusnya.
Kesalehan sosial mampu mewujudkan keseimbangan antara
hubungan vertikal kepada Allah SWT yang disebut dengan “hablum minallah”, dan
hubungan horizontal kepada sesama manusia dan alam sekitarnya yang disebut
dengan “hablum minannas”.
4. Ketangguhan Menghadapi konflik
Menurut Gillin dan Gillin konflik adalah bagian dari
proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan. Artinya, konflik adalah
bagian dari proses sosial yang terjadi karena adanya perbedaanperbedaan baik
fisik, emosi, kebudayaan, dan perilaku. Atau dengan kata lain konflik adalah
salah satu proses interaksi sosial yang bersifat disosiatif.
Tidak ada masyarakat yang tidak pernah mengalami
konflik. Keluarga sebagai bagian dari masyarakat pun tidak luput dari konflik.
Bentuk konflik yang terjadi dalam keluarga misalnya konflik antara suami dan
istri serta konflik antara orangtua dan anak. Keluarga yang mampu menghadapi
konflik akan menjadi keluarga yang tangguh. Konflik yang mampu diselesaikan
dengan baik akan memberikan dampak yang positif, antara lain mampu meningkatkan
solidaritas ingroup dan memunculkan nilai-nilai baru yang semakin mendorong
terciptanya integrasi dalam keluarga.
5. Kemampuan Menyelesaikan Masalah
Seringkali apa yang kita harapkan berbeda dengan apa
yang terjadi, disitulah muncul yang namanya masalah. Bila terjadi masalah dalam
keluarga maka yang seharusnya yang dilakukan adalah menghadapinya. Keluarga
muslim harus meyakini bahwa setelah kesukaran pasti ada kemudahan. Masalah yang
menimpa keluarga tidak boleh dihadapi dengan putus asa, sebab putus asa adalah
salah satu dosa. “Dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Allah,
merasa aman dari makar Allah, putus asa terhadap rahmat Allah, dan putus
harapan terhadap kelapangan dari Allah.” (Hadis hasan sahih; diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir; lihat Majma’ Az-Zawaid, juz 1, hlm. 104;
kutip dari Muslimah.or.id).
Bila kelima aspek tersebut dapat dipenuhi, maka
ketahanan keluarga akan tercapai. Ketahanan keluarga yang baik akan memberikan
pengaruh yang positif dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai islami yang
menjadi pondasi ketahanan keluarga akan mampu menangkal nilai-nilai liberal
yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Jati diri bangsa Indonesia tidak
akan luntur akibat gempuran modernisasi. Ideologi islam dan pancasila mampu
berjalan beriringan dan bekerjasama untuk memperkuat ketahanan nasional.
Aspek ideologi meruapak salah satu aspek yang harus
dipenuhi dalam mencapai ketahanan nasional. Penguatan ketahanan nasional bisa
dilakukan mulai dari penguatan ideologi suatu bangsa. Jika semua warga Negara
Indonesia memiliki ideologi sebagai
pandangan hidup, maka proses penguatan ketahanan nasional akan tercapai.
Indonesia akan mampu menghadapi gempuran globalisasi tanpa harus kehilangan
jati diri bangsa.
Oleh karena itu hal yang pertama kali harus dilakukan
dalam mencapai ketahanan nasional adalah menciptakan ketahanan keluarga.
Keluarga adalah bagian terkecil dari suatu masyarakat yang dapat memberikan
pengaruh yang signifikan. Jika keluarga kuat maka Negara akan hebat.
Bunda engkau adalah orang hebat yang mampu melahirkan
generasi-generasi hebat, maka jangan tinggalkan kewajiban mulia ini. Tetaplah
dampingi anak-anak kita agar mereka bisa tumbuh sebagai generasi pencetak
peradaban cemerlang. [syahid/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar