Griya Muslim Queena
Jual Busana Muslim Syar'i, Obat Herbal, dan Property Syariah Call 0852 9338 8833 (Telkomsel) | D408 7A94 (PIN BB)
Rabu, 17 Juli 2019
Selasa, 28 Maret 2017
Menjadi Muslimah Tangguh
Oleh: Ummu Naflah (Ibu Rumah Tangga, Cikupa,
Tangerang)
Suratmi kini berjuang sendiri membesarkan kelima
anaknya, setelah suaminya Siyono meninggalkan dunia fana setahun yang lalu.
Masih teringat jelas di benaknya peristiwa pahit yang memisahkannya dengan
belahan jiwanya itu.
Tepatnya tanggal 8 Maret 2016, sang suami yang setiap
harinya menjadi guru ngaji diambil paksa oleh Densus 88 Mabes Polri atas
tuduhan terlibat kasus terorisme. Namun, saat dipulangkan Suratmi harus menelan
pil pahit karena jasad suaminya yang ia temui. Di tengah banyaknya
perempuan-perempuan yang lemah akan gemerlap dunia, ia tak terpuruk dan tergoda
dengan iming-iming materi. Suratmi hanya menginginkan keadilan bagi suaminya
yang sampai saat ini tak juga menemukan solusi. Ia hanya meinginkan keadilan
demi anak-anaknya yang kini harus tumbuh tanpa bimbingan dan kasih sayang dari
seorang ayah.
Tiga Karakteristik Muslimah Tangguh
Suratmi juga bukan sosok perempuan cengeng yang
terus-terusan meratapi musibah yang sedang menimpanya. Ia sosok yang tegar dan
terus menghadapi rintangan yang ada di depannya demi memperoleh keadilan yang
seharusnya menjadi miliknya. Sungguh Suratmi adalah sosok perempuan tangguh
yang layak dan patut menjadi teladan bagi kaum muslimah. Bukan hal yang tidak
mungkin apa yang menimpa Suratmi akan menimpa kita di kemudian hari.
Apalagi sebagai seorang muslimah yang istiqomah dalam
mengemban dakwah Islam serta menjadi seorang istri yang juga senantiasa
mendukung suami dalam menyampaikan kebenaran, adalah hal yang alamiah jika
berbagai rintangan yang menghalangi dakwah entah itu fitnah, propaganda dan
penangkapan bahkan kehilangan nyawa akan mewarnai perjalanan kita.
Karena itu kita harus mempersiapkan diri kita untuk
menjadi muslimah yang tangguh untuk menghadapi semua itu. Untuk itu perlu bekal
dan persiapan menjadi seorang muslimah yang tangguh. Pertama, menangis karena tsayat
dan ingat kepada Allah SWT. Dari Abu Raihannah, ia berkata; kami keluar bersama
Rasulullah SAW dalam satu peperangan. Kami mendengar beliau SAW bersabda:
“Neraka diharamkan atas mata yang mengeluarkan air mata karena tsayat kepada
Allah. Neraka diharamkan atas mata yang tidak tidur di jalan Allah.”
Abu Rahainah berkata; Saya lupa yang ketiganya. Tapi
setelahnya saya mendengar beliau bersabda,” Neraka diharamkan atas mata yang
berpaling dari segala yang diharamkan Allah.” ( HR. Ahmad, Al-Hakim dalam kitab
Shahih-nya, disetujui oleh Adz-Dzahabi dan An-Nasai). Tsayat dan menangis
karena Allah SWT akan melapangkan hati kita dan menjadikan jiwa kita tenang,
serta menjauhkan kita dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah SWT,
salah satunya berputus asa dalam menghadapi berbagai ujian.
Kedua, mengharapkan rahmat Allah SWT dan tidak putus
asa dari rahmat-Nya. Suatu keharusan bagi seorang muslim untuk selalu berbaik
sangka kepada Allah SWT. Di antara tanda seorang seorang muslim berbaik sangka
pada Allah SWT adalah mengharapkan rahmat, jalan keluar, ampunan dan
pertolongan Allah SWT dalam setiap menemui ujian. Allah SWT memuji orang yang
mengharapkan perkara-perkara tersebut seperti halnya Allah SWT memberikan pujian
bagi orang yang tsayat pada Allah SWT.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat
Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-Baqarah [2]:
218). Dengan senantiasa mengharapkan dan tidak berputus asa terhadap rahmat
Allah SWT akan memberi energi positif pada diri kita karena setiap masalah
pasti ada solusinya.
Ketiga, sabar menghadapi cobaan dan ridha terhadap
ketentuan Allah SWT. Sabar yang
sebenarnya adalah ketika kita senantiasa menyuarakan kebenaran dan istiqomah
meniti jalan kebenaran. Seorang muslimah yang menetapi kesabaran siap
menanggung resiko penderitaan di jalan Allah karena mengatakan dan mengamalkan
kebenaran tanpa berpaling, bersikap lemah atau lunak sedikit pun. Sebagaimana
sikap Suratmi dalam memperjuangkan keadilan bagi suaminya. Sabar terhadap
cobaan dan ridha terhadap ketentuan Allah SWT akan menuntun kita pada sikap
konsisten untuk selalu berpegang teguh pada Kitabullah, bukan melemparkannya
dengan dalih beratnya cobaan. Sabar seperti inilah yang akan semakin menambah
kedekatan seorang hamba kepada Rabbnya.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,
dengan sedikit ketsayatan, kelaparan, jekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepafa orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘ Inna lillahi wa
inna ilaihi raji’un’. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (TQS. Al-Baqarah[2]:155-157).
Dengan mengamalkan ketiganya, insya Allah kita dapat
membentuk diri kita menjadi muslimah yang tangguh di jalan-Nya, serta siap
melahirkan generasi Islam yang tangguh dalam membela dan memperjuangkan
tegaknya hukum Allah SWT di atas dunia. Allahu’alam bishshawwab.
Senin, 20 Februari 2017
5 Pilar Ketahanan Keluarga
aa gym dan keluarga |
Miris, sungguh miris hati ini. Aku berusaha
menyambung kembali tali silahturahim yang lama tidak terajut. Aku punya saudara
yang tinggal jauh dari rumah aku, ia tinggal di pulau Sumatera. Terakhir aku
dengar kalau keponakan aku yang berumur 18 bulan sakit sampai kondisinya koma
beberapa hari.
Dan kini yang aku dengar berita yang jauh lebih
mengejutkan dari sebelumnya, keponakan aku sekarang dititipkan di rumah
neneknya, yang jarak rumah nenek dengan orang tuanya kira-kira 25 jam
perjalanan jika ditempuh dengan mobil. Tidak hanya berhenti disini, sang ayah
hanya menengoknya sebulan sekali, sedangkan sang bunda hanya dua bulan sekali.
MasyaAllah, dari satu kisah ini saja aku sudah banyak
mengelus dada. Bagaimana mungkin seorang bunda bisa rela meninggalkan anaknya
yang masih menjadi kewajibannya untuk mengasuh dan memberi ASI. Dan sekarang
banyak sekali bunda-bunda muda yang dengan sadar tega meninggalkan anak-anaknya
demi kepentingan duniawi. apakah mereka tidak memahami bahwa mereka telah
melalaikan kewajibannya sebagai bunda, ataukah mereka memahami tapi tidak punya
pilihan lain. Ataukah mereka memahami tapi tidak menjadikan itu sebagai sesuatu
yang penting. Ada sebagian mereka yang beranggapan bahwa semua ini mereka
lakukan demi masa depan anak-anaknya. Padahal Secara tidak sadar mereka telah
menggadaikan masa depan putra-putrinya.
Dalam Islam keluarga merupakan tumpuan yang utama dan
pertama dalam mempersiapkan generasi penerus peradaban. Dan bunda adalah
pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Lantas bagaimana jadinya jika
pendidik anak yang pertama dan utama ini tidak lagi mendampingi anak-anaknya?
Bagaimana ketahanan keluarga mereka bisa terjaga?
Menurut Dian Kusumawardani dalam majalah ummi. Setiap
individu yang berkeluarga pasti mendambakan keluarga yang sakinah. Keluarga
sakinah adalah keluarga yang mampu memberikan ketenangan, ketentraman dan
kesejukan yang dilandasi oleh iman dan taqwa, serta dapat menjalankan syariat
Islam dengan sebaik-baiknya.
Tidak ada masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik.
Keluarga sebagai bagian dari masyarakat pun tidak luput dari konflik. Bentuk
konflik yang terjadi dalam keluarga misalnya konflik antara suami dan istri
serta konflik antara orangtua dan anak. Keluarga yang mampu menghadapi konflik
akan menjadi keluarga yang tangguh
Setiap keluarga muslim berkewajiban memperkuat
ketahanan keluarganya masing-masing. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang
beriman ! peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras,
yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan“ (at-Tahrim : 6). Ketahanan
keluarga adalah konsep dalam menjaga kehidupan rumah tangga islami dari
nilai-nilai liberalisasi dan sekuler yang dapat mengancam eksistensi keluarga
tersebut dalam mengamalkan nilai-nilai yang islami.
Era globalisasi yang terjadi saat ini banyak yang
mempengaruhi ketahanan keluarga muslim. Ada beberapa faktor yang
melatarbelakangi lemahnya ketahanan keluarga muslim. Pertama, lemahnya komitmen
terhadap nilai-nilai keislaman. Nilai-nilai keislaman adalah pondasi dalam
membangun ketahanan keluarga. Rendahnya pengetahuan akan nilai-nilai yang
islami membuat komitmen terhadap nilai keislaman menjadi rendah. Akibatkan
ketahanan keluarga akan mudah rapuh.
Kedua, sikap hidup yang matrealistis. Kehidupan yang
lebih mementingkan materi membuat orangtua hanya berpikir untuk mencari uang
yang banyak. Anak hanya dicukupi secara materi namun mengabaikan aspek kasih akung
dan perhatian. Akibatnya anak banyak mencari perhatian di luar rumah, sehingga
cenderung melakukan perilaku menyimpang.
Ketiga, berkembangnya nilai-nilai jahilliyah yang
dapat dengan mudah diakses melalui kemajuan teknologi yang terjadi saat ini.
Nilai tersebut akan mudah diserap jika pondasi nilai-nilai keislaman keluarga
rendah. Keempat, minimnya komunikasi antar anggota keluarga. Tuntutan ekonomi
terkadang membuat kedua orangtua harus bekerja. Kesbundakan dalam bekerja
seringkali membuat komunikasi antar anggota keluarga terhambat.
Komunikasi yang terjadi lebih banyak yang bersifat
sekunder, yaitu menggunakan alat-alat komunikasi seperti smart phone. Padahal
komunikasi primer antar anggota keluarga akan lebih meningkatkan keharmonisan
keluarga. Kelima , Lemahnya tarbiyah ’ailiyah (pembinaan keluarga). Tanpa
adanya pembinaan keluarga maka ketahanan keluarga adalah hal yang mustahil
untuk dicapai. Ketahanan keluarga dapat dicapai bila mampu memenuhi lima aspek,
sebagai berikut:
1. Kemandirian Nilai
Langkah pertama yang harus dipenuhi untuk mencapai
ketahanan keluarga muslim. Kemandirian nilai,khususnya nilai-nilai islami mampu
membentengi anggota keluarga dari perilaku hedonis dan liberalis. Orangtua
menjalankan fungsi sosialisasinya berdasarkan nilai-nilai islam. Bila anak
sudah memiliki pondasi nilai-nilai islam yang kuat, maka ia tidak akan mudah
terpengaruh nilai-nilai negatif yang datang akibat globalisasi.
2. Kemandirian Ekonomi
Sandang, pangan, dan papan adalah hal mendasar yang
harus dipenuhi dalam keluarga. Dalam islam seorang ayah berkewajiban untuk
mencari nafkah yang halal bagi keluarganya, sebab nafkah yang haram bisa
memberikan dampak yang negatif bagi anak. Orang tua harus benar-benar menjamin
bahwa makanan yang dia berikan kepada anaknya 100 % halal. Sedikit saja
tercampur dengan yang haram maka anak akan merasakan akibat buruknya. Darahnya
terkontaminasi haram, dagingnya tersusun dari zat haram maka hatinya akan
tertutup dari rahmat Allah. Doanya tidak akan didengar oleh Allah swt.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda;
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Maha
Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan
kaum mukminin dengan perintah yang juga Dia tujukan kepada para rasul, “Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang
saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” dan Dia juga
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang
baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” Kemudian beliau menyebutkan seseorang
yang letih dalam perjalanannya, rambutnya berantakan, dan kakinya berpasir,
seraya dia menengadahkan kedua tanganya ke langit dan berkata, “Wahai Rabbku,
wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram,
dan dia diberi makan dari yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan
dikabulkan.” (HR. Muslim)
3. Kesalehan Sosial
Kesalehan Sosial menunjuk pada perilaku orang-orang
yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap
santun pada orang lain, suka menolong, sangat perhatian terhadap
masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama, mampu berpikir
berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa
yang dirasakan orang lain, dan seterusnya.
Kesalehan sosial mampu mewujudkan keseimbangan antara
hubungan vertikal kepada Allah SWT yang disebut dengan “hablum minallah”, dan
hubungan horizontal kepada sesama manusia dan alam sekitarnya yang disebut
dengan “hablum minannas”.
4. Ketangguhan Menghadapi konflik
Menurut Gillin dan Gillin konflik adalah bagian dari
proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan. Artinya, konflik adalah
bagian dari proses sosial yang terjadi karena adanya perbedaanperbedaan baik
fisik, emosi, kebudayaan, dan perilaku. Atau dengan kata lain konflik adalah
salah satu proses interaksi sosial yang bersifat disosiatif.
Tidak ada masyarakat yang tidak pernah mengalami
konflik. Keluarga sebagai bagian dari masyarakat pun tidak luput dari konflik.
Bentuk konflik yang terjadi dalam keluarga misalnya konflik antara suami dan
istri serta konflik antara orangtua dan anak. Keluarga yang mampu menghadapi
konflik akan menjadi keluarga yang tangguh. Konflik yang mampu diselesaikan
dengan baik akan memberikan dampak yang positif, antara lain mampu meningkatkan
solidaritas ingroup dan memunculkan nilai-nilai baru yang semakin mendorong
terciptanya integrasi dalam keluarga.
5. Kemampuan Menyelesaikan Masalah
Seringkali apa yang kita harapkan berbeda dengan apa
yang terjadi, disitulah muncul yang namanya masalah. Bila terjadi masalah dalam
keluarga maka yang seharusnya yang dilakukan adalah menghadapinya. Keluarga
muslim harus meyakini bahwa setelah kesukaran pasti ada kemudahan. Masalah yang
menimpa keluarga tidak boleh dihadapi dengan putus asa, sebab putus asa adalah
salah satu dosa. “Dosa besar yang paling besar adalah menyekutukan Allah,
merasa aman dari makar Allah, putus asa terhadap rahmat Allah, dan putus
harapan terhadap kelapangan dari Allah.” (Hadis hasan sahih; diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir; lihat Majma’ Az-Zawaid, juz 1, hlm. 104;
kutip dari Muslimah.or.id).
Bila kelima aspek tersebut dapat dipenuhi, maka
ketahanan keluarga akan tercapai. Ketahanan keluarga yang baik akan memberikan
pengaruh yang positif dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai islami yang
menjadi pondasi ketahanan keluarga akan mampu menangkal nilai-nilai liberal
yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Jati diri bangsa Indonesia tidak
akan luntur akibat gempuran modernisasi. Ideologi islam dan pancasila mampu
berjalan beriringan dan bekerjasama untuk memperkuat ketahanan nasional.
Aspek ideologi meruapak salah satu aspek yang harus
dipenuhi dalam mencapai ketahanan nasional. Penguatan ketahanan nasional bisa
dilakukan mulai dari penguatan ideologi suatu bangsa. Jika semua warga Negara
Indonesia memiliki ideologi sebagai
pandangan hidup, maka proses penguatan ketahanan nasional akan tercapai.
Indonesia akan mampu menghadapi gempuran globalisasi tanpa harus kehilangan
jati diri bangsa.
Oleh karena itu hal yang pertama kali harus dilakukan
dalam mencapai ketahanan nasional adalah menciptakan ketahanan keluarga.
Keluarga adalah bagian terkecil dari suatu masyarakat yang dapat memberikan
pengaruh yang signifikan. Jika keluarga kuat maka Negara akan hebat.
Bunda engkau adalah orang hebat yang mampu melahirkan
generasi-generasi hebat, maka jangan tinggalkan kewajiban mulia ini. Tetaplah
dampingi anak-anak kita agar mereka bisa tumbuh sebagai generasi pencetak
peradaban cemerlang. [syahid/voa-islam.com]
Minggu, 19 Februari 2017
Pembacaan Ayat Suci Al Quran oleh Rofiul Husna
Tasyakuran Renovasi Masjid Al Hikmah Mulyasari
https://youtu.be/eFC9o1JEZ5k
Selasa, 08 November 2016
Inilah Wanita yang Menolak Pinangan Rasulullah
KISAH cinta nampaknya tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan. Termasuk kisah cintanya Rasulullah. Tahukah Anda jika Rasulullah pun pernah ditolak cintanya? Padahal, seperti kita ketahui banyak wanita yang justru menawarkan dirinya kepada Rasulullah untuk dinikahi. Tapi berbeda dengan wanita yang satu ini, justru ia menolak pinangan Rasulullah.
Wanita itu adalah Ummu Hani r.a. Nama sebenarnya adalah Fakhitah binti Abi Thalib bin Abdul Muthalib. Ia berasal dari kabilah Ouraisy dari keturunan Bani Hasyim. Ummu Hani r.a adalah saudara kandung Ali bin Abi Thalib r.a.
Sebelum Rasulullah saw menerima wahyu, beliau pernah meminang Ummu Hani melalui pamannya, Abu Thalib, yang juga ayah Ummu Hani. Sayangnya, sang ayah telah mengikat perjanjian dengan Habirah bin Abi Wahab yang telah meminang putrinya terlebih dahulu dan Ummu Hani pun menerima pinangan Habirah.
Ketika Islam makin berkembang, Ummu Hani menjadi pemeluk Islam. Namun, suaminya tetap bertahan dengan kekafirannya. Mereka pun berpisah dan Ummu Hani r.a hidup menjanda bersama anak-anaknya.
Kemudian Rasulullah saw meminang kembali Ummu Hani untuk kedua kalinya.
Namun, dengan halus Ummu Hani berkata, “Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai daripada pendengaran dan penglihatanku sendiri. Namun, hak suami sangatlah besar, hingga aku merasa takut apabila melayani suami, kemudian anak-anakku terlantar. Dan jika aku mengurusi anak-anak, aku khawatir hak-hak suamiku tidak bisa kupenuhi.”
Mendengar jawaban tersebut, Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy, yang sangat penyayang terhadap anak-anaknya yang masih kecil dan sangat hati-hati dalam menjaga hak-hak suami ketika ia menjadi seorang istri.” (HR Ibnul Atsir)
Siapa yang sanggup menolak pinangan Rasulullah SAW, sosok mulia dan bertanggung jawab idaman para wanita shalehah. Namun, Ummu Hani menekan perasaannya semata-mata karena tidak ingin lalai dalam mengurus suami dan anak-anaknya yang masih kecil.
Dikutip dari ceritainspirasimuslim, dan Ummu Hani memiliki kasih sayang yang luar biasa besar kepada anak-anaknya sehingga menolak untuk bersuami kembali. []
Untuk Kamu yang Tercantik, Berhak Mendapatkan yang Terbaik
Seorang ikhwan membantu temannya mencarikan pendamping hidup. Syarat tersebut di atas adalah syarat yang diinginkan oleh si teman ada pada diri seorang perempuan. Berkali-kali calon disodorkan, tak juga menemukan yang cocok. Saat si ikhwan cocok, pihak akhwat menolak. Begitu sebaliknya. Ketika si akhwat sudah bilang iya, si ikhwan nanti-nanti saja.
Itu tak seberapa. Ada seorang teman akhwat mengirim sms ke saya. Intinya abangnya sedang mencari calon istri dengan kriteria sebagai berikut: putih, sedap dipandang, usia tak lebih dari 22, sarjana atau sedang kuliah. Belum lagi bila ada tambahan, lebih disukai bila pintar memasak, ahli mengatur keuangan, dan selalu tampil rapi dan wangi di depan suami.
Ketika saya bertanya tentang kualitas diri dan iman, jawabnya: kan ini nyari akhwat bukan perempuan biasa, jadi otomatis salihah dong. Oh...wow!
Duh, betapa manusia selalu menginginkan yang terbaik buat dirinya. Tapi seringkali dia lupa, sudah sebaik apa dirinya sehingga layak mendapat calon seperti yang dimau? Apakah dirinya sendiri juga sedap dilihat, putih, salih, berintelektualitas tinggi dengan segudang prestasi? Yang ada, banyak dari kita lupa berkaca ketika sedang mengajukan kriteria.
Muslimah salihah sahabat voa-islam yang dirahmati Allah. Tak usah berkecil hati dengan segala kriteria yang ditetapkan ikhwan di luar sana. Fokus saja dengan kualitas diri yang itu akan memperbaiki kedudukan kita di hadapan Allah. Biar sajalah hiruk-pikuk perjodohan yang ribet dengan segala hal berbau keduniawian itu. Dan abaikan saja mereka yang berdalil ini-itu sebagai pembenar untuk mencari yang dimau.
...Duh, betapa manusia selalu menginginkan yang terbaik buat dirinya. Tapi seringkali dia lupa, sudah sebaik apa dirinya sehingga layak mendapat calon seperti yang dimau?...
Kita fokus saja pada diri sendiri. Untuk kamu yang tidak putih kulitnya karena memang tinggal di negeri tropis yang berlebih curah sinar mataharinya, dan untuk kamu yang tak lagi muda apalagi bergelar sarjana, tetap milikilah harga diri sebagai muslimah salihah. Ingat, Allah menciptakan manusia itu dengan sebaik-baiknya bentuk. Ketika ada yang menganggapnya jauh dari cantik, woles saja.
Menikah memang hal yang didamba tapi hal itu bukan fokus utama. Bila ikhwan yang tersedia adalah jenis yang memasang kriteria seperti di atas, itu artinya kamu diminta Allah untuk menepi.
Menepilah untuk memperbaiki kualitas diri. Menepilah untuk bertafakur dan tak perlu sakit hati. Menepilah untuk memahami janji Allah dan tak meragukannya barang sedikit pun. Menepilah untuk menikmati perjalanan kehidupan ini yang ada kalanya sangat lucu termasuk fenomena mencari jodoh itu. Menepilah untuk mempertimbangkan lagi bila kamu masuk kriteria yang dicari.
Yakinlah, tak ada satu pun rencana Allah yang terjadi bila itu bukan demi kebaikan hambaNya sendiri. Begitupun dengan masalah jodoh. Ribet dan sulitnya menemukan pendamping hidup yang akan menggenapkan separuh dien, itu bukan masalah yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor terlibat di dalamnya. Termasuk kriteria yang sangat ‘kapitalistik’ seperti di atas.
Insya Allah bila waktunya tiba, akan ada yang terbaik untukmu dariNya. Jangan pernah ragu, dan jangan terpengaruh. Fokuslah dengan proses perbaikan kualitas diri yang tak mengenal kata berhenti hingga nanti saatnya mati. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Minggu, 06 November 2016
Mualaf Victoria: Dari Keyakinan Pagan Menuju Islam Kaffaah
Assalamu’alaikum. Namaku Victoria. Pertama kali aku belajar Islam yaitu di bulan Februari 2014. Saat itu orang menganggap aku menganut peyakinan Pagan. Tapi entah mengapa, aku merasa ada yang salah dengan semua ini. Aku pun kemudian tertarik untuk mempelajari Islam.
Di agama yang sama sekali baru ini yaitu Islam, aku mulai belajar tentang cara berpakaian mereka yaitu seputar hijab, niqab dan burqa. Kemudian barulah aku mempelajari tentang hal lainnya seperti keimanan di dalam Islam dan apa saja yang diimani oleh Muslim. Aku ingin mempelajari Islam secara keseluruhan.
Dalam proses mengenal Islam lebih baik, aku bertemu dengan seorang muslimah yang cantik dan baik. Namanya Shaza. Aku mengenalnya lewat situs World Hijab Day. Dialah yang banyak membantu dalam perjalananku untuk memahami Islam.
Aku terus mempelajari Islam hingga di satu titik aku merasa bahwa aku mulai mempercayai adanya Tuhan. Satu rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Waktu pun berlalu, saat itu bulan Juni 2014. Aku mulai mengakui bahwa Islam adalah jalan kebenaran.
Bertepatan saat itu, Shaza mengirimiku Al Quran terjemahan bahasa Inggris. Aku pun membacanya. Isinya cukup membuatku terkejut dan merasa bahwa Tuhan sedang mengujiku. Isinya cukup membuatku ‘tertekan’ tapi pada saat yang sama aku tak bisa berhenti membacanya. Bahkan aku merasa mulai mencintai kitab ini.
...Pertanyaanku dulu yang semula ‘Bagaimana mungkin Tuhan itu ada?’ berubah menjadi ‘Bagaimana mungkin Tuhan itu TIDAK ada?’...
Al Quran mengajariku bahwa penyerahan diri secara total adalah cara untuk menerima keberadaan Tuhan. Tuhan dalam hal ini yang bernama Allah begitu Mahabesar sungguh tak bisa dibandingkan dengan apapun jua. Pertanyaanku dulu yang semula ‘Bagaimana mungkin Tuhan itu ada?’ berubah menjadi ‘Bagaimana mungkin Tuhan itu TIDAK ada?’
Di bulan Juli, aku memutuskan untuk memakai hijab sepanjang hari dan mulai berpikir untuk masuk Islam. Keyakinanku dalam hal ini sudah mencapai 90%. Aku pun ikut hadir salat Jumat di masjid dekat tempatku tinggal. Itu adalah pertama kalinya aku berdoa seperi muslim lainnya berdoa. Dan saat itu adalah pertama kalinya juga aku berada di dalam masjid. Setelah hari itu aku semakin yakin 100% bahwa aku akan masuk Islam dan memakai hijab selamanya.
Tak butuh waktu lama, aku pun bersyahadat dan masuk Islam. Aku merasa semua perubahan dan perjalanan mencari iman ini sungguh menakjubkan. Subhanallah!
Islam telah menjadikanku menjadi sosok yang lebih baik. Aku menjadi pribadi yang lebih sederhana, lebih peduli terhadap sesama, dan lebih mudah dalam memberi. Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang tentangku. Itu karena aku mencintai Allah, Islam, hijabku, dan jalan kebenaran yang sedang kutempuh ini.
Alhamdulillah orang-orang yang kucintai mendukung keputusanku ini dengan sepenuhnya. Sungguh, tak ada yang bisa diucapkan kecuali rasa syukur yang dalam dan itu semua tertuju hanya untuk Allah saja. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Di agama yang sama sekali baru ini yaitu Islam, aku mulai belajar tentang cara berpakaian mereka yaitu seputar hijab, niqab dan burqa. Kemudian barulah aku mempelajari tentang hal lainnya seperti keimanan di dalam Islam dan apa saja yang diimani oleh Muslim. Aku ingin mempelajari Islam secara keseluruhan.
Dalam proses mengenal Islam lebih baik, aku bertemu dengan seorang muslimah yang cantik dan baik. Namanya Shaza. Aku mengenalnya lewat situs World Hijab Day. Dialah yang banyak membantu dalam perjalananku untuk memahami Islam.
Aku terus mempelajari Islam hingga di satu titik aku merasa bahwa aku mulai mempercayai adanya Tuhan. Satu rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Waktu pun berlalu, saat itu bulan Juni 2014. Aku mulai mengakui bahwa Islam adalah jalan kebenaran.
Bertepatan saat itu, Shaza mengirimiku Al Quran terjemahan bahasa Inggris. Aku pun membacanya. Isinya cukup membuatku terkejut dan merasa bahwa Tuhan sedang mengujiku. Isinya cukup membuatku ‘tertekan’ tapi pada saat yang sama aku tak bisa berhenti membacanya. Bahkan aku merasa mulai mencintai kitab ini.
...Pertanyaanku dulu yang semula ‘Bagaimana mungkin Tuhan itu ada?’ berubah menjadi ‘Bagaimana mungkin Tuhan itu TIDAK ada?’...
Al Quran mengajariku bahwa penyerahan diri secara total adalah cara untuk menerima keberadaan Tuhan. Tuhan dalam hal ini yang bernama Allah begitu Mahabesar sungguh tak bisa dibandingkan dengan apapun jua. Pertanyaanku dulu yang semula ‘Bagaimana mungkin Tuhan itu ada?’ berubah menjadi ‘Bagaimana mungkin Tuhan itu TIDAK ada?’
Di bulan Juli, aku memutuskan untuk memakai hijab sepanjang hari dan mulai berpikir untuk masuk Islam. Keyakinanku dalam hal ini sudah mencapai 90%. Aku pun ikut hadir salat Jumat di masjid dekat tempatku tinggal. Itu adalah pertama kalinya aku berdoa seperi muslim lainnya berdoa. Dan saat itu adalah pertama kalinya juga aku berada di dalam masjid. Setelah hari itu aku semakin yakin 100% bahwa aku akan masuk Islam dan memakai hijab selamanya.
Tak butuh waktu lama, aku pun bersyahadat dan masuk Islam. Aku merasa semua perubahan dan perjalanan mencari iman ini sungguh menakjubkan. Subhanallah!
Islam telah menjadikanku menjadi sosok yang lebih baik. Aku menjadi pribadi yang lebih sederhana, lebih peduli terhadap sesama, dan lebih mudah dalam memberi. Aku tidak peduli apa yang dikatakan orang tentangku. Itu karena aku mencintai Allah, Islam, hijabku, dan jalan kebenaran yang sedang kutempuh ini.
Alhamdulillah orang-orang yang kucintai mendukung keputusanku ini dengan sepenuhnya. Sungguh, tak ada yang bisa diucapkan kecuali rasa syukur yang dalam dan itu semua tertuju hanya untuk Allah saja. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Langganan:
Postingan (Atom)